I. PENDAHULUAN
Anak-anak sejak dini harus dikenalkan dengan nilai-nilai yang mengatur kehidupan manusia, yang berguna bagi dirinya masing-masing, agar berlangsung tertib, efisien dan efektif. Norma-norma itu sebagai ketentuan tata tertib hidup harus dipatuhi. Pelanggaran dari tata tertib itu akan merugikan dirinya dan bahkan dapat ditindak dengan mendapat hukuman. Dengan kata lain setiap anak harus dibantu hidup mau dan mampu mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku di lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Kondisi itu sering ditemui dalam kehidupan anak-anak, yang mengharuskan pendidikannya melakukan pengawasan agar tata tertib kehidupan dilaksanakan, yang sering kali mengharuskan juga untuk memberikan hukuman karena pelanggaran yang dilakukan anak didiknya, begitu juga sebaliknya akan mendapat pujian apabila bisa mematuhi tata tertib ataupun melakukan perbuatan yang positif.
II. PUJIAN DAN HUKUMAN
Orang tua adalah pendidik utama dan pertama. Kegiatan orang tua mendidik anaknya sebagian terbesar dilakukan di rumah. Kegiatan hampir tidak ada yang berupa pengajaran. Bentuk kegiatan pendidikan yang dilakukan orang tua ialah pembiasaan, pemberian contoh, dorongan, hadiah, pujian dan hukuman.
Hukuman dalam pendidikan memiliki pengertian yang luas, mulai dari hukuman ringan sampai pada hukuman berat, sejak kerlingan yang menyengat sampai pukulan yang agak menyakitkan. Sekalipun hukuman banyak macamnya, pengertian pokok dalam setiap hukuman tetap satu, yaitu adanya unsur yang menyakitkan, baik jiwa ataupun badan.
Sebenarnya, tidak ada ahli pendidikan yang menghendaki digunakannya hukuman dalam pendidikan kecuali terpaksa. Hadiah atau pujian jauh lebih dipentingkan ketimbang hukuman. Dalam pendidikan Islam diakui perlunya hukuman berupa pukulan dalam hal bila anak yang berumur 10 tahun belum juga mau shalat. Ahli didik Muslim berpendapat bahwa hukuman itu tidak boleh berupa siksaan, baik badan maupun jiwa. Bila keadaan amat memerlukan hukuman, maka hukuman itu harus digunakan dengan sangat hati-hati.1 Anak-anak jangan dicela dengan keras, tetapi dengan lemah lembut.
Ibnu Sina mengatakan pendidikan anak-nak harus dimulai dengan membiasakannya dengan hal-hal yang terpuji semenjak ia disapih, sebelum meresap pada adat kebiasaan yang jelek yang amat sukar menghilangkannya apabila ia mengambil tempat dalam jiwa anak-anak. Kalau keadaan memerlukan untuk menggunakan hukuman, maka harus digunakan dengan sangat hati-hati. Anak-anak jangan dicela dengan kekerasan, tetapi dengan lemah lembut, kemudian dicampurkan dengan menakut-nakuti.2 Kadang-kadang pujian dan sugesti lebih berfaedah dari mencela, dan pemakaian ini tergantung kepada situasi. Akan tetapi kalau keadaan menghendaki kepada pemukulan, maka guru tidak boleh ragu-ragu menggunakannya, dengan satu ketentuan bahwa pukulan yang pertama itu harus sakit, hingga berkesan dalam jiwa anak-anak satu kesan yang pantas, sehingga ia menganggap hukuman tersebut satu hal yang sungguh-sungguh. Kalau sekiranya pukulan yang pertama itu tidak menyakitkan, maka anak-anak akan memandang enteng terhadap pukulan. Akan tetapi menggunakan hukuman itu adalah sesudah didahului dengan gertakan dan ancaman serta bujukan agar terjadi pengaruh yang diinginkan dalam jiwa anak-anak.3
Al-Ghazali adalah seperti Ibnu Sina, ia melihat pentingnya pemeliharaan dengan mempercepatkan pembiasaan pada anak-anak hal-hal yang terpuji, dan dalam waktu yang sama Al-Ghazali memperingatkan kedua orang tua terhadap kewajiban mereka dalam mendidik anak, “sesungguhnya anak-pinak adalah satu amanah yang terletak di atas pundak kedua orang tuanya, hati yang bersih itu adalah satu permata yang mahal harganya4. Ia berpendapat bahwa seorang guru harus mengetahui tingkat penyakit dan jenis penyakit dan umur orang sakit (murid-murid) pada waktu ia mendidik dan melatih anak-anak, karena seorang guru adalah seperti seorang dokter, kalau ia mengobati orang-orang sakit dengan cara yang sama, niscaya ia akan membunuh kebanyakan mereka, dan akan mematikan hati mereka.5
Dan apabila guru tidak berhasil dalam membimbing seorang murid meninggalkan sifat-sifat tercela dengan segera, maka ia harus membimbingnya secara berangsur-angsur, yaitu dengan mengalihkannya dari budi pekerti yang tercela itu kepada budi pekerti yang tidak baik yang lain yang lebih ringan, seperti menganjurkan anak-anak bermain bola dalam maktab. Ada sebagian anak-anak yang memiliki sifat pemalu dan perasa, maka guru tidak boleh membiarkan anak-anak yang semacam ini, ia harus menggunakan sifat pemalu itu untuk mendidiknya.
Apabila kelihatan seorang anak mengerjakan pekerjaan yang baik, guru harus memberi balasan terhadap perbuatannya itu danmemujinya didepan orang banyak. Akan tetapi apabila ia berbuat salah satu kali saja, yang terlebih baik saja dilupakan saja kesalahannya itu, seolah-olah hal itu tidak terjadi. Kalau ia mengulangi lagi perbuatan itu ia ditegur secara rahasia dan diperingatkan supaya tidak mengulanginya lagi dan jangan sering mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hatinya. Karena yang demikian itu membiasakan dia mendengarkan lata-kata yang menyakitkan.6
Seterusnya Al-Ghazali menggunakan cara mendidik anak-anak sesuai dengan perbedaan perangainya dan dengan tingkatan perasa yang dimilikinya. Ia menganggap penting balasan yang serasi terhadap pekerjaan yang terpuji, dan ia tidak mau terburu-buru dengan memberi hukuman, karena ia lebih suka memberi kesempatan kepada anak-anak untuk memperbaiki kesalahannya sendiri yang dapat mengarahkan dia untuk memperoleh harga diri dan bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Sikap yang seperti ini memperlihatkan suatu pengertian yang penting dari segi pendidikan, yaitu mengutamakan sugesti (dorongan) dan pujian. Karena dorongan dan pujian seperti itu dapat memperkuat sifat percaya diri sendiri pada anak-anak dan mengisi jiwa anak-anak dengan kegembiraan yang dapat mengantarkan si anak kepada pencapaian kemajuan. Sedangkan celaan yang bersifat keras terhadap anak-anak dapat melemahkan rasa percaya diri sendiri dan menjadikan dia orang yang penakut dan selalu merasa gundah. Oleh sebab itulah al-Ghazali tidak suka menggunakan hukuman apabila anak-anak bersalah.
Pendapat al-Ghazali dalam mendidik anak-anak ini diikuti pula oleh Al-Abdari, dan ia mengatakan, bahwa sangat penting bagi guru bertindak sesuai dengan tabi’at anak-anak, karena di sana terdapat sebagian dari anak-anak yang cukup dengan memperlihatkan muka yang masam untuk mencegah mereka dari pekerjaan yang salah, sedangkan sebagian lainnya memerlukan penggunaan kata-kata celaan dan ancaman, dan yang lainnya lagi tidak mempan dengan tindakan tersebut, kecuali pukulan dan penghinaan.7 Semestinya guru itu tidak usah menggunakan pukulan dalam mendidik anak-anak, kecuali kalau cara yang lunak tidakmendatangkan hasil yang diharapkan. Satu hal yang sangat baik adalah guru memperkecil penggunaan kekerasaan atau tidak sama sekali. Menurutnya tidaklah pantas memukul anak-anak sebelum ia berumur sepuluh tahun, yaitu batas umur yang memperbolehkan mereka dipukul kalau mereka mengabaikan sembahyang. Apabila mereka tidak boleh dipukul sebelum mencapai batas usia ini karena meninggalkan kewajiban yang utama yaitu shalat, bukanlah satu hal yang wajar tidak boleh memukul mereka karena sebab-sebab yang lain.8 Dalam keadaan darurat sekali siperbolehkan menggunakan pukulan yang ringan tiga kali, dan tidak boleh melampaui sepuluh kali. Al-’Abdari mengecam guru-guru yang mempergunakan ranting kayu, pelepah korma dan sebagainya untuk memukul anak-anak.
Oleh karena orang Islam berpendapat bahwa anak-anak harus dibimbing dengan cara yang lunak, maka kerajaan telah berusaha keras melindungi anak-anak dari cara-cara kekerasan yang dipakai oleh guru-guru yang tidak kasih sayang kepada anak-anak. Untuk mencapai tujuan ini kerajaan telah memerintahkan kepala polisi untuk mengamat-amati cara-cara bimbingan anak-anak yang dipakai “Katatib” agar guru tidak menggunakan cara kekerasan.9
Namun demikian walaupun adanya usaha-usaha yang rapi untuk melindungi anak-anak dari pelbagai kekerasan yang dipakai oleh para guru akan tetapi masih banyak terdapat cara-cara kekerasan yang digunakan terhadap anak-anak. Sebenarnya mempergunakan tongkat dan pukulan bukanlah soal yang ganjil dalam mendidik anak-anak, bahkan anak raja sekalipun tidak luput dari itu. Walaupun bagaimana hukuman badan yang semacam itu bukan satu cara yang disenangi dalam pendapat para ulama dan ahli pikir kecuali dalam hal yang sangat darurat senbagaimana telah dijelaskan tadi.
Ibnu Khaldun telah menjelaskan kekurangan cara kekerasan dalam mendidik anak-anak, dan untuk ini ia menjelaskan, “siapa-siapa yang dididik dengan kekerasan, baik ia murid-murid, budak-budak atau khadam dan rendah diri, hilang kegiatannya, ia terdorong kepada kemalasan, suka berdusta dan bertabi’at jelek, arena takut hukuman yang akan diterimanya”10 Kekerasan itu akan mengajarkan untuk menipu, suka menipu ini akan menjadi satu kebiasaan dan budi pekertinya dan akan rusaklah perikemanusiaan yang terdapat dalam dirinya. Selanjutnya Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa akhlak yang timbul dari kekerasan dan paksaan mempunyai pengaruh yang tidak baik dalam hidup bermasyarakat, dan dalam hal ini ia mengatakan, “Orang-orang yang mendapat bimbingan dengan cara kekerasan akan menjadi beban bagi orang lain, karen ia tidak mampu mempertahankan nama baiknya dan keluarganya, sebab ia tidak mempunyai keberanian dan ambisi, dan ia tidak mau berusaha untuk memiliki sidat-sifat keutamaan dan budi pekerti yang baik, dan oleh karena itu jiwanya dan perikemanusiaanya tidak dapat berkembang.11
Kemudian Ibnu Khaldun menyimpulkan pendapat para ulama Islam dalam masalah hukuman ini pada waktu ia mengutip nasehat Harun Al-Rasyid kepada seorang guru anaknya yang bernama Al-Amin. Ibnu Khaldun menceritakan bahwa Harun Al-rasyid meminta kepada Al-Ahmar yaitu seorang guru anaknya, agar ia tidak membiarkan satu jam pun berlalu tanpa faedah bagi anaknya dan menggundahkannya, karena kegundahan ini dapat mematikan pikiran anaknya, dan jangan terlalu menurut kemauannya, karena yang demikian ini membiasakannya membuang waktu. Dan hendaklah membimbingnya sekedar mampu dengan cara mendekatinya dan kasih sayang. Kalau kedua cara ini tidak mau dituruti oleh anaknya, maka guru dapak memakai kekerasan dan paksaan. Dan kalau keadaan menghendaki kepada pemukulan maka seorang guru tidak boleh dari tiga kali memukulnya.
Ringkasnya, manfaat hukuman dalam pendidikan ditujukan untuk memperoleh perbaikan dan pengarahan, bukan semata-mata untuk membalas dendam, oleh karena itu orang Islam menganjurkan untuk mengetahui tabi’at dan perangai anak-anak sebelum menjatuhkan hukuman kepada mereka, sebagaimana mereka ingin mendorong mereka ikut aktif dalam memperbaiki kesalahan mereka sendiri, dan untuk ini mereka melupakan kesalahan mereka sendiri, dan untuk ini mereka melupakan kesalahan anak-anak dan tidak membeberkan rahasia mereka.
Kebijaksanaan mengharuskan pendidik berlaku dan bertindak adil dalam memberikan hukuman, bagi anak (subyek) didik yang melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku atau tidak patuh pada perintah. Manifestasinya tidaklah mudah. Di satu pihak harus diupayakan pembuktian kekeliruan atau kesalahan yang telah dilakukan, kemudian harus dipikirkan juga sanksi yang bersifat mendidik, yang bukan sekedar untuk memberikan kepuasan emosional dari si pendidik. Di pihak lain harus dipertimbangkan juga latar belakang dan kondisi anak (subyek) didik yang melanggar tersebut, seperti sering tidaknya (frekuensinya) melakukan pelanggaran, perbedaan jenis kelamin, pelanggaran yang disengaja atau tidak dan lainnya. 12
Berkenaan dengan jenis hukuman yang bersifat pedagogis, dewasa ini pada umumnya pendidik modern tidak menyukai/membenarkan lagi bentuk hukuman badan (fisik), seperti memukul, mengunci di dalam kamar dan lain-lain. Masalah in penting dipertimbangkan karena tujuan menjatuhkan hukuman itu adalah untuk menumbuhkan kesadaran pada nak (subyek didik) bahwa perbuatannya melanggar aturan adalah salah dan supaya tidak diulanginya lagi. Hukuman badan juga sering menimbulkan rasa tidak puas dan dendam, sehingga mendorong keceenderungan untuk mengulangi atau berbuat sesuatu yang lain sebagai protes, yang sifatnya merupakan massif. Namun dalam upaya mewujudkan disiplin yang akan menumbuhsuburkan iman, serta menggambarkan pentingnya pendidikan agama Islam, penting untuk dilakukannya sejak dini, dengan memberikan contoh, dorongan, pujian, hadiah walaupun kadang-kadang dengan hukuman atau sanksi yang mendidik.
III. AKHIRAN
Pendidikan Islam dalam mengenakan hukuman bagi anak-anak didik terdapat dengan jelas rasa kasih sayang. Di sana terdapat beberapa syarat apabila seseorang hendak menjatuhkan hukuman badan, yaitu anak-anak yang belum mencapai usia sepuluh tahun tidak boleh dipukul, harus dilihat dulu latar belakang di a membuat kesalahan (frekuensinya) dan harus mempunyai bukti bahwa anak-anak itu benar-benar melanggar ketentuan yang ada.
Para pendidik Islam mengarahkan teori hukuman ke arah pelaksanaan yang tegas. Namun mereka lebih sepakat bahwa sikap lunak dan kasih sayang dengan lebih diutamakan dengan sekali-kali memberikan pujian terhadap anak-anak didik.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husen, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Jauzai, Ibnul, Al-Thibb Al-Ruhani, tt.
Sina, Ibnu, Fi Kitab Al-Siyasah.
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz III.
Al-’Abdari, Al-Madkhal, juz II.
Encyclopedia of Religion & Ethics, jilid V.
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah.
Nawawi, Hadani, Pendidikan dalam Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1991.
1. Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husen, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hlm. 135.
2. Ibnul Jauzai, Al-Thibb Al-Ruhani, tt. hlm. 44.
3. Ibnu Sina, Fi Kitab Al-Siyasah, hlm. 12.
4. Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz III, hlm. 66-67.
5. Ibid, hlm. 56
6. Ibid, hlm 56.
7. Al-’Abdari, Al-Madkhal, juz II, hlm. 164.
8. Ibid, hlm, 165.
9. Encyclopedia of Religion & Ethics, jilid V, hlm. 204.
10. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 494-495.
11. Ibid.
12. Hadani Nawawi, Pendidikan dalam Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1991, hlm. 234.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar