BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ayat
Al-Quran banyak membahas tentang penerapan penghargaan dan ganjaran
atau hukuman, sanksi atau ancaman sebagai metode dakwah, dalam rangka
memotivasi umat manusia untuk beramal shalih, dan mencegahnya dari
perbuatan yang jahat dan buruk.
Ayat-ayat
yang berkenan dengan pemberian ganjaran atau pahala bagi yang beramal
shalih (berbuat baik), di antaranya (QS. An-Nisa [4] : 124) dikatakan
“Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, akan Kami masukkan ke
dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal
selama-lamanya di dalamnya. Janji Allah adalah benar, dan siapa yang
paling benar perkataannya daripada Allah”.
Adapun
ayat yang berkenaan dengan pemberian hukuman terhadap orang-orang yang
berbuat kejahatan atau keburukan, diantaranya tercantum dalam QS.
Al-Baqarah [2] : 126 “(Ingatkah) ketika Ibrahim berdoa: Ya Allah,
Tuhanku jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan curahkanlah
rizki berupa buah-buahan kepada penduduknya yang beriman kepada Allah
dan hari akhir. Allah berfirman “Kepada orang kafir pun Aku beri
kesenangan sementara, kemudian Aku paksa dia menjalani siksa api neraka,
dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penerapan reward dalam proses belajar agama ?
2. Bagaimana penerapan punishment dalam proses belajar agama ?
3. Bagaimana tehnik-tehnik pemberian penghargaan ?
A. Tujuan Pembuatan Makalah
- Untuk mengetahui penerapan reward dalam proses belajar agama.
- untuk mengetahui penerapan Punishment dalam proses belajar agama
- Untuk mengetahui tehnik-tehnik pemberian penghargaan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Reinforcement
Reinforcement
(peneguhan atau penguatan) diartikan sebagai konsekuensi atau dampak
tingkah laku yang memperkuat tingkah laku tertentu (Skinner, ahli
psikologi belajar behavioristik). Reinforcement kemudian
diklasifikasikan ke dalam dua macam, yaitu:
1. Peneguhan
Positif yaitu rangsangan yang memperkuat atau mendorong respon (tingkah
laku tertentu). Bentuknya adalah reward (ganjaran, hadiah, atau
imbalan), atau secara nonverbal (isyarat, senyuman, hadiah benda, dll).
2. Peneguhan
Negaif yaitu rangsangan yang mendorong seseorang untuk menghindari
respon tertentu yang konsekuensi atau dampaknya tidak memuaskan
(menyakitkan atau tidak menyenangkan). Peneguhan negative bentuknya
berupa hukuman atau pengalaman yang tidak menyenangkan. Bentuk hukuman
yang diberikan guru merupakan peneguhan negative, agar mendorong anak
untuk tidak mengulang kembali kesalahannya.
B. Reward dan Punisment dalam Proses Belajar
1. Reward (Penghargaan)
Penganut teori behavioristik mengatakan bahwa reward adalah pendorong utama dalam proses belajar. Adapun dampak positif reward bagi anak antara lain:
1. Menimbulkan respon positif,
2. Menciptakan kebiasaan yang relatif kokoh di dalam dirinya,
3. Menimbulkan perasaan senang dalam melakukan suatu pekerjaan jika mendapatkan imbalan,
4. Menimbulkan antusiasme dalam bentuk semangat untuk terus melakukan pekerjaan, dan
5. Meningkatkan rasa percaya diri.
Pendapat para ahli tentang pemberian reinforcement:
1. Walberg (Ornstein Allan C., 1990: 13)
Mengatakan bahwa pemberian reinforcement dalam bentuk penghargaan (reward)
terhadap perilaku, atau unjuk belajar siswa yang baik merupakan faktor
yang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap prestasi belajar siswa.
2. Utami Munandar (1999: 163)
Mengatakan
bahwa pemberian hadiah untuk pekerjaan yang dilaksanakan dengan baik,
tidak harus berupa materi. Justru yang terbaik adalah berupa senyuman
atau anggukan, kata penghargaan, kesempatan menampilkan dan
mempresentasikan pekerjaan sendiri.
Dalam memberikan reward
kepada anak, para ahli mengingatkan agar dilakukan tidak secara
berlebihan. Jika berlebihan akan berdampak tidak baik, antara lain:
1. Anak merasa bahwa tidak ada lagi korelasi (hubungan) antara keberhasilan atau kesuksesan dengan imbalan yang akan diraihnya,
2. Anak tidak mampu memahami bahwa keberhasilannya dalam belajar merupakan kewajiban fundamental, dan
3. Anak tidak dapat memahami bahwa fungsi yang harus dilakukannya adalah sebagai pelajar yang tekun.
2. Punisment
Pemberian
hukuman atau sanksi kepada anak bertujuan untuk mencegah tingkah laku
atau kebiasaan yang tidak diharapkan atau yang bertentangan dengan
norma, sehingga anak akan berhati-hati dalam melakukan sesuatu.
Hukuman
merupakan teknik untuk meluruskan tingkah laku anak. Pemberian hukuman
kepada anak hendaknya didasari perasaan cinta kepadanya, bukan atas
dasar rasa benci atau dendam. Hindarkan hukuman yang bersifat fisik,
seperti: memukul, menjewer, atau menendang, maupun bersifat psikologis
seperti: melecehkan dan mencemoohkan. Terkait dengan cara pemberian
hukuman, hindarkan memberikan hukuman kepada anak dihadapan
teman-temannya, karena dapat merusak harga dirinya (selfesteem).
Baiknya
dijelaskan kepada anak tentang kekeliruan atau kesalahannya dan alasan
mengapa tingkah laku atau kebiasaan tersebut harus dihentikan. Alasan
yang dikemukakan harus bersifat rasional dan objektif, jangan bersifat
subjektif dan alasan-alasan yang tidak masuk akal.
Dalam
proses pembelajaran, hukuman yang diterapkan sebaiknya dilakukan secara
hati-hati dan dikurangi seminimal mungkin. Karena apabila kurang
hati-hati dan seringnya memberikan hukuman, dapat berdampak negatif bagi
perkembangan pribadi anak.
Ahmad
Ali Budaiwi (terjemahan M. Syihabuddin, 2002: 44) mengemukakan
berdasarkan hasil penelitiannya, “bahwa orang yang cenderung memberikan
sanksi tidak dapat meluruskan tingkah laku dan membuahkan hasil. Bahkan
sanksi jenis fisik dapat menimbulkan jiwa permusuhan pada diri anak
terhadap pihak pemberi hukuman, dan juga dapat menumbuhkan perasaan
gagal dalam diri anak”.
Abdullah
Nashih Ulwan (terjemahan Jamaluddin Miri, 1995: 166-170), terkait
penerapan hukuman, juga mengemukakan beberapa petunjuk Rasulullah SAW
tentang metode dan tata cara yang baik bagi para pendidik untuk
memperbaiki penyimpangan perilaku anak, meluruskan kebengkokannya, serta
membentuk moral dan spiritualnya, yaitu:
1. Menunjukkan kesalahan dengan pengarahan.
Dalam
hadist Bukhori dan Muslim dari Umar bin Abi Salamah ra, ia berkata:
“Ketika aku kecil berada dalam asuhan Rasulullah SAW. Pada suatu ketika
tanganku bergerak ke sana kemari di atas meja berisi makanan, berkatalah
Rasul SAW “Wahai anak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan
kananmu, dan makanlah yang dekat denganmu”.
2. Menunjukkan kesalahan dengan memberikan isyarat.
Imam
Bukhori meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, dia berkata: “Fahal pernah
mengikuti Rasulullah SAW. Pada suatu hari datanglah seorang wanita dari
Khuts’um yang membuat Fadhal memandangnya dan wanita itu pun
memandangnya pula, maka Rasulullah SAW memalingkan muka Fadhal ke arah
yang lain…”.
3. Menunjukkan kesalahan dengan kecaman.
Imam
Bukhori meriwayatkan dari Abu Dzar ra, ia berkata: “Saya mencaci
seorang laki-laki dengan menjelekkan ibunya (dengan berkata: “Hai anak
wanita hitam!”), maka Rasulullah SAW berkata: “Wahai Abu Dzar kamu telah
mencacinya dengan menjelekkan ibunya, sesungguhnya kamu orang yang
masih berperilaku jahiliyah…”
4. Menunjukkan kesalahan dengan memutuskan hubungan (memboikotnya).
Diriwayatkan
bahwa salah seorang saudara Ibnu Mughaffal melempar dengan telunjuk dan
ibu jari, maka Rasulullah SAW melarangnya dan berkata: “Sesungguhnya
Rasul SAW melarang melempar dengan telunjuk dan ibu jari, karena
sesungguhnya lemparan itu tidak akan mengenai binatang buruan. Kemudian
ia mengulangi dan berkata: “Bukankah aku sudah memberitahu kamu bahwa
Rasul SAW melarangnya, kemudian kamu kembali mengulanginya? Sama sekali
aku tidak akan berbicara lagi denganmu”.
5. Menunjukkan kesalahan dengan pukulan.
Imam Abu Daud dan Hakim meriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasul SAW bersabda: “Murǔ aulădakum bishshalăt wahum abnău ‘asyrin, wafarriqǔ bainahum filmadhaji’i. (Suruhlah
anak-anakmu mengerjakan shalat sejak mereka berusia tujuh tahun, dan
pukullah mereka jika melalaikannya, ketika mereka berusia 10 tahun, dan
pisahkan tempat tidur mereka).
Hukuman
dengan pukulan ini merupakan alternative terakhir, apabila
hukuman-hukuman lainnya tidak mempan. Apabila terpaksa menggunakannya,
jangan melakukan pada saat sedang marah, dan jangan memukulnya di bagian
wajah (walătadhribil wajha).
Cara
memukulnya pun tidak seperti pukulan orang yang berkelahi, tetapi
dengan pukulan ringan, dan yang dipukul sebaiknya bagian kaki
(betisnya).
C. Pendapat Ulama tentang Ganjaran dan Hukuman
1. Pendapat al-Qabasi
Al-Qabasi
berpesan agar guru menyayangi para pelajar, bersikap lemah lembut,
memberikan nasihat, dan berperan sebagai pengganti orang tua anak.
Dengan demikian ganjaran menurut al-Qabasi bentuknya lebih bersifat
psikologis yang tercermin dalam sikap dan perlakuan guru terhadap siswa.
Pendapat al-Qabasi didasarkan kepada hadist-hadist berikut:
a. Diriwayatkan
oleh Aisyah ra bahwasanya Rasul berkata: “Ya Allah, siapa saja yang
diserahi kekuasaan menyangkut suatu urusan umatku, lalu dia menyayangi
mereka dalam urusan itu, maka sayangilah dia”.
b. Rasul bersabda: “Allah menyukai kasih sayang dalam segala urusan. Allah hanya menyayangi hamba-Nya yang penyayang”.
Al-Qabasi
mengakui adanya hukuman dengan pukulan. Namun dia menetapkan beberapa
syarat supaya pukulan itu tidak melenceng dari tujuan preventif dan
perbaikan ke penindasan dan balas dendam.
2. Pendapat al-Ghazali
Al-Ghazali
berpendapat bahwa apabila anak memperlihatkan suatu kemajuan, akhlak
terpuji, atau perbuatan yang baik, seyogianya guru memuji hasil upaya
muridnya, berterima kasih kepadanya, dan mendukungnya di hadapan
teman-temannya, guna menaikkan harga dirinya dan menjadikannya sebagai
model atau teladan yang harus diikuti.
Pemberian hukuman kepada murid menurut al-Ghazali harus
bertujuan kemaslahatan, bukan untuk menghancurkan perasaan pelajar,
menyepelekan atau menghina dirinya. Teguran, celaan atau pengungkitan
kesalahan yang dilakukan anak (pelajar) secara terus menerus dapat
membuatnya menjadi pembangkang, bersikap acuh tak acuh, dan cenderung
mengulangi kesalahannya.
3. Pendapat Ibnu Jama’ah
Menurut
Ibnu Jama’ah, imbalan atau pujian lebih kuat dan berpengaruh terhdap
pendidikan anak dari pada pemberian sanksi atau hukuman. Sanjungan atau
pujian guru dapat mendorong siswa untuk meraih keberhasilan dan prestasi
yang lebih baik dan memotivasinya untuk berupaya serta berkompetisi
secara sehat di antara sesama siswa.
4. Pendapat Ibnu Khaldun
Ibnu
Lhaldun mengemukakan, bahwa barangsiapa yang mendidik dengan kekeraan
dan paksaan, maka siswa akan melakukan suatu perbuatan dengan terpaksa
pula, menimbulkan ketidakgairahan jiwa, lenyapnya aktifitas, mendorong
siswa untuk malas, berdusta, dan berkata buruk. Siswa akan menampilkan
perbuatan yang berlainan dengan kata hatinya, karena takut akan
kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar